Istikamah, Anugerah Terindah
Anugerah Terindah
Segala puji bagi Allah Ta’ala, Rabb yang telah menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita agar kita beriman dan istikamah di atas ketaatan kepada-Nya. Selawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi terakhir dan kekasih Ar-Rahman, sang pembawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada. Amma ba’du.
Saudara-saudaraku sekalian.
Kita hidup di zaman yang penuh dengan cobaan dari Allah Al-‘Aziz Al-Hakim. Cobaan dan ujian yang menyelimuti umat manusia ibarat derasnya hujan yang menyirami bumi, bahkan terkadang bergelombang menyerang silih berganti bak ombak lautan yang menerjang tepi-tepi pantai. Mahasuci Allah dari melakukan perbuatan yang sia-sia. Sesungguhnya, dengan ujian dan musibah yang mendera manusia akan menampakkan kepada kita siapakah orang yang tegar di atas jalan-Nya, dan siapakah orang-orang yang berjatuhan dan melenceng dari jalan-Nya yang lurus.
Istikamah merupakan sebuah perkara yang sangat mulia, yang tak akan ditemukan jawabannya, kecuali dari jawaban seorang utusan Rabb semesta alam. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya,
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
“Dari Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi. Dia berkata, ‘Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepada saya suatu ucapan di dalam Islam yang tidak akan saya tanyakan kepada seorang pun sesudah Anda.’ Sedangkan dalam penuturan Abu Usamah dengan ungkapan, “orang selain Anda.’ Beliau (Rasulullah) menjawab, ‘Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian istikamahlah.”” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman, lihat Syarh Nawawi [2: 91-92])
Sebuah perkara yang sangat agung dan tidak bisa diremehkan, sampai-sampai Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma mengatakan tatkala menjelaskan firman Allah Ta’ala,
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Istikamahlah Engkau sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu.” (QS. Huud : 112)
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma mengatakan, “Tidaklah turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam keseluruhan Al-Qur’an suatu ayat yang lebih berat dan lebih sulit bagi beliau daripada ayat ini.” (lihat Syarh Nawawi [2: 92])
Sampai-sampai sebagian ulama sebagaimana dinukil oleh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi rahimahullah mengatakan,
الِاسْتِقَامَة لَا يُطِيقهَا إِلَّا الْأَكَابِر
“Tidak ada yang bisa benar-benar istikamah, melainkan orang-orang besar.” (Disebutkan oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim [2: 92])
Oleh sebab itu ikhwah sekalian, semoga Allah Ta’ala meneguhkan kita di atas jalan-Nya, marilah barang sejenak kita mengingat besarnya nikmat yang Allah Ta’ala karuniakan kepada Ahlussunnah yang tetap tegak di atas kebenaran di antara berbagai golongan yang menyimpang dari jalan-Nya. Inilah nikmat teragung dan anugerah terindah yang menjadi cita-cita setiap mukmin.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka istikamah, akan turun kepada mereka para malaikat seraya mengatakan, ‘Janganlah kalian takut dan jangan sedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepada kalian.’” (QS. Fusshilat: 30)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas (QS. Fusshilat : 30) adalah orang-orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala dan beriman kepada-Nya, lalu istikamah dan tidak berpaling dari tauhid. Mereka konsisten dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sampai akhirnya mereka meninggal dalam keadaan itu. (lihat Syarh Nawawi [2: 92])
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mengakui dan mengikrarkan keimanan mereka. Mereka rida akan rububiyah Allah Ta’ala serta pasrah kepada perintah-Nya. Kemudian mereka istikamah di atas jalan yang lurus dengan ilmu dan amal mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan kabar gembira di dalam kehidupan dunia dan di akhirat (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman [2: 1037-1038])
Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ’anhu mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas (yang artinya), “Kemudian mereka tetap istikamah”, maka beliau mengatakan, “Artinya mereka tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Diriwayatkan pula dari beliau, “Yaitu mereka tidak berpaling kepada sesembahan selain-Nya.” (Disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali di dalam Jami’ al-‘Ulum, hal. 260)
Ali bin Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma tentang makna firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka istikamah’, beliau mengatakan, ‘Yaitu mereka istikamah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah bebankan.`” Sedangkan Abu Al-‘Aliyah mengatakan, “Kemudian (setelah mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’) maka mereka pun mengikhlaskan kepada-Nya agama dan amal.” Qatadah mengatakan, “Mereka istikamah di atas ketaatan kepada Allah.” Diriwayatkan pula dari Hasan Al-Bashri, apabila beliau membaca ayat ini maka beliau berdoa, “Allahumma anta Rabbuna farzuqnal istiqomah.” (Ya Allah, engkaulah Rabb kami, karuniakanlah rezeki keistikamahan kepada kami.) (Jami’ Al-‘Ulum, hal. 260)
Jangan Lupakan Allah!
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang hamba. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Bukankah telah Aku berikan kepadamu pendengaran, penglihatan, harta, dan anak? Aku tundukkan untukmu binatang ternak dan tanam-tanaman. Aku tinggalkan kamu dalam keadaan menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat hasil rampasan perang. Apakah dulu kamu mengira akan bertemu dengan-Ku pada hari ini?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Allah pun berkata, “Kalau begitu pada hari ini Aku pun melupakanmu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “Hadis sahih gharib.”, lihat Al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 36-37)
Faedah Hadis
Hadis ini mengingatkan kita tentang dahsyatnya hari kiamat. Betapa butuhnya seorang hamba terhadap pertolongan Allah Ta’ala ketika itu. Akan tetapi, pertolongan Allah itu hanya akan diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul dan mengamalkan ajarannya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِی فَإِنَّ لَهُۥ مَعِیشَةࣰ ضَنكࣰا وَنَحۡشُرُهُۥ یَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ أَعۡمَىٰ
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِیۤ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ بَصِیرࣰا
قَالَ كَذَ ٰلِكَ أَتَتۡكَ ءَایَـٰتُنَا فَنَسِیتَهَاۖ وَكَذَ ٰلِكَ ٱلۡیَوۡمَ تُنسَىٰ
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku bisa melihat?’ (Allah menjawab), ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya. Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan.’” (QS. Thaha: 124-126)
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan makna ‘peringatan-Ku’ di dalam ayat di atas. Beliau berkata, “Artinya [barangsiapa yang berpaling] dari agama-Ku, tidak membaca Kitab-Ku, dan tidak mengamalkan isi ajarannya. Ada juga yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah keterangan-keterangan yang telah Aku turunkan. Namun, bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud peringatan ini adalah [keberadaan] Rasul, karena peringatan itu datang melalui perantara beliau.” (lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [14: 157])
Sebagian ulama berkata, “Tidaklah seorang pun yang berpaling dari peringatan Rabbnya, kecuali waktu yang dilaluinya semakin menambah gelap (buruk) keadaan dirinya, mencerai-beraikan urusan rezekinya, dan membuatnya selalu mengalami kesempitan di dalam hidupnya.” (lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [14: 157])
Adapun maksud dari “Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan”; Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah dibiarkan dalam keadaan tersiksa, yaitu di dalam neraka Jahannam.” (lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [14: 158])
Di dalam ayat lain, Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقِیلَ ٱلۡیَوۡمَ نَنسَىٰكُمۡ كَمَا نَسِیتُمۡ لِقَاۤءَ یَوۡمِكُمۡ هَـٰذَا وَمَأۡوَىٰكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن نَّـٰصِرِینَ
“Dan dikatakan, ‘Pada hari ini Kami melupakan kalian sebagaimana halnya dahulu kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini. Tempat tinggal untuk kalian adalah neraka. Sama sekali tidak ada bagi kalian seorang penolong.” (QS. Al-Jatsiyah: 34)
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari “kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini” adalah kalian meninggalkan amal untuk akhirat. (lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [19: 173])
Baca juga: Istiqamah di atas Tauhid
—
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel asli: https://muslim.or.id/72154-istikamah-anugerah-terindah.html